Pelestarian situs bersejarah yang ada di desa-desa di pelosok Kabupaten Banyumas dinilai turut serta efektif dalam upaya konservasi alam sekaligus konservasi mata air.
Hal itu disampaikan akademisi Ilmu Lingkungan sekaligus Direktur Pascasarjana Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Prof. Dr. rer. Nat. Imam Widhiono MZ, M.S. di sela kegiatan pengabdian masyarakat Hari Lingkungan di Desa Samudra, Kecamatan Gumelar, Sabtu 6 Juli 2024.
Menurut Profesor Imam, begitu ia akrab disapa, keberadaan komunitas penjaga situs hingga kearifan lokal berupa mitologi cukup efektif untuk mempertahkan situs purbakala ataupun situs bersejarah untuk tetap lestari.
“Karena di dalam situs dan sekitarnya ini umumnya banyak pepohonan rindang yang telah berusia tua. Bahkan tak jarang merupakan tanaman konservasi penyimpan air. Jadi ketika situs ini terawat dan terjaga, maka otomatis langkah konservasi ini terlaksanakan,” katanya.
Untuk itulah dukungan dari masyarakat, pemerintah desa, ormas dan berbagai pihak untuk pelestarian situs purbakala hingga kearifan lokal penjaga alam ini perlu ditingkatkan.
Apalagi kerusakan situs purbakala yang kaya akan flora dan fauna ini bisa berdampak pada keseimbangan lingkungan.
“Jika situs-situs ini terjaga, maka mata air akan turut terjaga dan bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar.
Untuk itulah kepedulian masyarakat ini perlu diterus didukung dan dikuatkan menjadi kesadaran dan gerakan kolektif menjaga lingkungan,” ujarnya.
Ketua Komunitas Sedekah Bumi Desa Samudra Kecamatan Gumelar yang juga Kader Konservasi Lingkungan Jawa Tengah, Widodo Hermanto mengatakan di Samudra sendiri ada 14 titik lokasi situs bersejarah.
Di desa yang berbatasan dengan Kabupaten Brebes ini, warga setempat masih setia menjaga lokasi situs purbakala tersebut.”Di sini baik pemuda peduli lingkungan, petani hingga komunitas supranatural bersatu menjaga adanya situs bersejarah ini.
Di sini sebagian besar cerita tentang mitologi, legenda ataupun sejarah lain di situs-situs ini masih terjaga dengan baik,” katanya.
Dengan terpeliharanya termasuk dengan adanya larangan tertentu yang berimbas merusak lokasi situs, kata Widodo, membuat flora dan fauna yang ada di situs tersebut terjaga.
Dengan kondisi inilah, kondisi mata air di dalam ataupun sekitar lokasi situs tersebut hingga sekarang masih terjaga.
“Ada sumber mata air yang kini dimanfaatkan warga sebagai sumber air bersih.
Jadi kami dari komunitas terus mendorong upaya konservasi ini dengan cara menjaga situs hingga bertahap menambah vegetasi konservasi di lingkungan situs tersebut,” ujarnya.***